Menjajal Elok Tanjakan Emen (Torehan Perjalanan Bersepeda Jakarta-Tangkuban Perahu)

…Bukan hanya elok. Bagi warga lokal, tanjakan Emen adalah kisah masa lalu yang penuh misteri, mistis, bahkan dianggap sebagai sebuah awal dari rentetan tragedi yang sering terjadi di lokasi hingga saat ini. Dibalik itu semua, dapat mengayuh pedal di kemiringan tajam dan panjang tanjakan Emen telah membayar semua rasa penasaran saya.

Memanfaatkan libur panjang Imlek 22-23 Januari 2012 lalu, Saya, Bimar, Adit, Lita, dan Rifai melakukan perjalanan Jakarta–Tangkuban Perahu. Namun seperti apa yang tertulis pada prolog di atas, perjalanan kali ini lebih dari sebatas menjajal tanjakan Emen, melainkan kembali menggali sebuah pengalaman melalui detik demi detik perjalanan panjang dengan sepeda.

Kali ini jalur yang disepakati dilewati adalah via Pantura, yakni Bekasi-Cikarang-Karawang-Cikampek-Purwakarta-Subang-Tangkuban Perahu. Rencana awal, target perjalanan hari pertama kami adalah langsung finish di Gerbang Tangkuban Perahu, untuk keesokan harinya lanjut nanjak ke Lokasi Wisata Kawah Gunung Tangkuban Perahu, lalu turun ke arah Bandung untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta dengan kereta api.

Hari pertama, Jakarta – Subang
Titik start dimulai dari Lebak Bulus sekitar jam 5.30 pagi. Khusus Rifai, ia baru kali ini mencoba melakukan perjalanan jarak jauh dengan sepeda. Dan total jarak perjalanan yang akan ia tempuh dalam touring kali ini adalah sekitar 180km jauhnya.

Dari Lebak Bulus kami menyusuri jalan TB Simatupang, Condet, hingga akhirnya melalui jalur lurus Kalimalang-Bekasi. Sebagai road captain, Saya dan Adit berada bergantian di depan. Cuaca pagi itu cukup cerah kalau tidak mau dikatakan panas. Mungkin tepatnya cerah, tapi menyengat.

Singkat kata, di wilayah Cikarang kami sempatkan untuk berhenti di sebuah minimarket untuk mengisi bidon dan membekali perut dengan jelly dan makanan kecil. Setelah itu kembali melanjutkan perjalanan melalui wilayah Industri CIkarang yang panas dan berdebu.

Sengatan sinar matahari semakin ‘akrab’ mengiringi perjalanan, padahal baru sekitar jam 10 pagi. Saya pribadi juga baru kali ini menapak Pantura dengan sepeda. Dulu, saat kuliah di Bandung sih cukup sering bulak-balik Jakarta-Bandung via Pantura dengan sepeda motor. Tapi kali ini beda, dengan sepeda, dan ternyata panasnya sungguh terasa!

Panasnya Aspal Pantura

Angin juga berhembus cukup kencang, yang membuat kayuhan semakin berat. Meski beberapa puluh kilometer ke depan jalur yang kami lalui adalah jalur datar, tapi memaksa untuk memutar pedal dengan cepat di tengah panas dan angin kencang sama saja membuang energi percuma. Ditambah lagi sesekali hempasan debu berpasir dari roda truk yang berjumlah puluhan harus rela kami terima. Tapi itu lah Pantura, tanpa itu semua, perjalanan di jalur ini jadi kurang bermakna.

Saat saya di depan, saya mengatur rombongan untuk tetap memacu sepeda tidak lebih dari 20km/jam. Begitu juga saat Adit di depan, meski dia terkadang “ngacir”, saya tak mengikuti kayuhannya, dan tetap berusaha menjaga irama gowes rombongan di belakang saya terutama Lita dan Rifai untuk konstan di kecepatan awal saja. Perjalanan masih panjang, pikir saya.

Sekitar pukul 11.00, kami telah sampai di Alun-Alun Karawang. Kami berhenti sekitar 15-20 menit di situ untuk istirahat. Sesekali sempat menanyakan ke Rifai, dan ternyata dia menikmati perjalanan sejauh ini. Mental rombongan masih sempurna terjaga. Itulah yang terpenting, karena perjalanan masih belum setengahnya.

Alun-alun Karawang

Setelah cukup istirahat kami lanjut bergerak, dan memutuskan untuk makan siang di Rumah Makan Emin di wilayah Walahar, Karawang. Rifai yang merekomendasikan tempat ini. Dari jalur utama Pantura kami belok kanan, menyeberang melewati jembatan di atas Tol Cipularang lalu menyusuri sungai yang panjang.

Ada yang unik di sepanjang tepi sungai itu. Para muda-mudi terlihat sedang bercengkrama mesra. Saya membayangkan, bagaimana pemandangan di situ pada malam hari ya? Tapi sudahlah, dimana-mana sajian pemandangan seperti itu memang akan selalu ada. Toh tidak semua orang mampu untuk menyewa kamar, meski itu kamar jam-jaman.

Sampailah kami di RM Emin. RM ini berukuran cukup luas, namun tidak megah, terlihat sederhana dengan dinding dan meja yang terbuat dari kayu. Sajian khas di RM itu adalah pepes ikan patin, pepes ayam, dan pepes jamur. Ketika pesanan datang, dengan lahap kami menyantapnya. Dan sungguh, saya merasa rekomendasi dari Rifai tentang RM ini sangat tepat. Yang lebih spesial, rasa istimewa dari menu yang tersedia hanya dibayar dengan harga yang relatif sangat murah, yakni sebesar 70ribuan saja untuk 5 orang.

RM Emin. Recommended untuk disinggahi

Cukup kenyang, kami lanjut mengayuh kembali di atas jalur Pantura. Bayangan sudah tepat lurus berada di bawah kami, yang artinya matahari sudah berada di posisi paling sempurna untuk membakar ubun-ubun. Terus menapak aspal, hingga akhirnya kami pun memasuki wilayah Cikampek, lalu Purwakarta.

Di tengah-tengah jalan menuju pertigaan besar Sadang, ada sedikit trouble. Rifai mengalami kram kaki yang memaksa kami untuk sejenak menahan perjalanan. Gerimis pun mulai turun, dan kami putuskan untuk istirahat di sebuah warung es kelapa untuk memulihkan kondisi Rifai. Belum lama sampai situ hujan turun dengan deras. Berembuk sebentar, kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan di tengah hujan deras. Semua barang telah terbungkus plastik, termasuk juga kepala kami sendiri.

Sampai di pertigaan besar Sadang ternyata cuaca berubah panas. Dan dari situ, perjalanan dilanjutkan untuk berhenti di titik berikutnya, yakni wilayah perkebunan karet Kalijati, perbatasan Purwakarta-Subang.

Singkat kata, kami telah masuk Kalijati. Kiri kanan kami adalah deretan pohon karet yang menjulang tinggi dan tertata sangat rapi. Konon, wilayah ini dulunya cukup rawan terutama pada malam hari karena memang lokasinya yang sangat sepi.

Di tengah hutan karet Kalijati

Kontras dengan suasana jalur Pantura, wilayah ini begitu ’adem’. Bau khas perkebunan dan tanah hutan yang baru terguyur hujan cukup merasuk ke dalam hidung. Inilah salah satu hal menarik yang tersaji dari sebuah perjalanan panjang saat touring. Sebuah pergantian fenomena cuaca, sosial, hingga budaya dari wilayah yang berbeda akan dapat kita saksikan dengan cepat.

Di sebelah kanan berjejer warung-warung sederhana yang letaknya cukup berjauhan dari lokasi satu warung ke warung lainnya, meski ada juga warung yang didirikan berkelompok. Jalanan kalijati juga tidak selebar jalur Pantura. Bila di jalur berlawanan ramai, maka mobil di belakang kami harus menunggu untuk bisa leluasa mendahului kami.

Mulai dari sini cuaca mulai berganti-ganti. Panas, hujan, panas lagi, begitu seterusnya. Namun rombongan terus berjalan untuk mengejar waktu. Hingga akhirnya di sebuah warung, kami memutuskan untuk makan, istirahat, sekaligus juga melaksanakan shalat Ashar.

Sekitar jam 16.00, kami kembali beranjak menuju titik berikutnya, Kota Subang. Saat itu kami sadar bahwa kami sudah cukup telat. Dari rencana awal, target kami seharusnya jam segitu sudah masuk di Kota Subang. Tapi tidak jadi masalah, toh biar bagaimanapun pilihan tetap hanya satu, yakni terus mengayuh pedal sampai ke tujuan.

Jalur yang awalnya datar dari Jakarta hingga Kalijati, kini berubah menjadi jalur rolling naik turun. Semakin dekat memasuki Kota Subang, variasi kontur yang naik turun makin terasa. Di sini kami harus pintar-pintar menyimpan tenaga, karena tanjakan yang sebenarnya yaitu jalur Subang-Tangkuban Perahu telah menunggu di depan.

Setapak demi setapak, akhirnya kami sampai di Alun-Alun Kota Subang. Saat itu sudah sekitar jam 18.00. Kami menyempatkan untuk beristirahat dan menikmati jajanan gerobak yang ada. Dan sekitar 30 menit kemudian kami segera beranjak lagi. Saya tanya ke Rifai apakah masih sanggup melanjutkan perjalanan hari itu? Katanya masih. Begitu juga dengan yang lain. Jarak yang tersisa adalah sekitar 30km. Kami yakin, selambat-lambatnya jam 11 malam kami akan bisa sampai ke Gerbang Tangkuban Perahu.

Alun-alun Subang

Kami mulai mengayuh lagi. Suasana mulai gelap, dan udara dingin juga menusuk pori-pori kulit. Jujur saja, meski sudah sering melewati jalur itu dengan sepeda motor, ternyata ada satu hal yang saya lupa. Jalur Subang-Jalan Cagak sepanjang 16km ke depan ternyata adalah jalur menanjak yang cukup ekstrim. Bahkan baru beberapa ratus meter dari Alun-alun, kami sudah disodorkan tanjakan panjang dan curam. Saya berada di depan untuk memandu perjalanan.

Di belakang, ternyata Rifai dan Lita sempat beberapa kali berhenti untuk mengatur nafas dan tenaga. Hal itu terulang beberapa kali. Hingga akhirnya saat berhenti di sebuah titik, kami sepakat perjalanan hari itu harus segera diakhiri. Selain waktu yang sudah menunjukan hampir jam 9 malam, beberapa dari kami juga sudah merasa cukup lelah. Maka tak boleh dipaksakan. Dan akhirnya kami pun berhenti di sebuah Pom Bensin yang berjarak sekitar 3km dari Jl Cagak. Izin dengan petugas pom, setelah makan malam di dekat situ kami mengakhiri perjalanan hari itu di teras nyaman kantor pom bensin, dengan berselimut sleeping bag yang kami bawa tentunya. Hari pertama pun selesai…

Hari kedua, Jalan Cagak – Tangkuban Perahu
Gema Adzan Subuh terdengar merdu dari Masjid yang berada di dekat lokasi kami tidur. Hiruk pikuk kendaraan angkutan desa juga sudah mulai ramai mengantri di pom bensin. Tandanya, perjalanan di hari kedua harus segera dimulai. Kami pun bersiap-siap. Setelah sarapan di warung tempat kami makan malam sebelumnya, sekitar jam 6.30 perjalanan kembali kami awali dengan berdoa masing-masing di dalam hati.

Sarapan sebelum melanjutkan perjalanan

Berpose dulu

Jarak sisa mungkin sekitar 20km-an, termasuk 3km jalur landai ke Jalan Cagak. Sesampainya di Jalan Cagak kami menyempatkan diri untuk mengabadikan momen di depan Tugu Nanas yang menjadi simbol Subang sebagai daerah yang terkenal dengan buah nanasnya. Oiya, lokasi ini sendiri dinamakan jalan cagak memang karena bentuknya yang bercabang. Dalam bahasa Sunda, cagak berarti cabang. Kalau dari Subang, ke arah kanan adalah ke Tangkuban Perahu dan Bandung. Sedangkan arah kiri, bisa tembus ke arah Sumedang.

Tugu Nanas

Kami mengambil arah kanan. Selepas itu kontur sudah mulai menanjak, terlebih saat memasuki perkebunan teh. Dari situ, sejauh mata memandang yang tersaji adalah kelokan tanjakan tanpa henti. Saya, Bimar, Lita, dan Rifai, mengayuh pelan beriringan, sedangkan Adit sudah melaju cukup cepat di depan.

Baru pertama kali saya bersepeda di jalur ini. Dan menurut saya, karakternya hampir sama dengan jalur Puncak, Bogor. Hanya saja jalur ini lebih berkelok dan lebih sepi,. Di tengah rasa lelah yang saya rasakan, saya merasa sangat beruntung bisa berada di situ. Setiap tarikan otot saat mengayuh di kemiringan jalur itu saya anggap sebagai sebuah bayaran tunai dari kuasa keindahan Tuhan yang diberikan kepada saya saat itu. Luasnya daratan hijau kebun teh, juga sejuknya cuaca kaki gunung Tangkuban Perahu akan menemani sisa perjalanan kami.

Dengan sisa tenaga kami mengayuh santai. Salah satu yang saya perhatikan saat itu adalah Rifai. Maklum, untuk touring pertama kali dengan jarak ratusan kilometer dan ending tanjakan, tentu bukan hal mudah bagi dia. Untungnya, seorang Bimar Sitanggang dengan penuh kesabaran terus mengawal meski harus sering berhenti di tengah-tengah tanjakan.

Semakin mendekati tujuan akhir, elevasi kemiringan semakin tajam. Cuaca juga begitu terik walaupun angin sejuk terus berhembus kencang menerpa tubuh. Hingga akhirnya sampailah kami di tanjakan yang fenomenal, yakni tanjakan Emen. Bagi pesepeda, tanjakan Emen mungkin fenomenal karena elevasinya yang curam, namun bagi masyarakat lokal atau bahkan masyarakat sekitar Bandung Utara, tanjakan Emen adalah sebuah misteri yang terjadi di masa lalu.

"Gerbang" Tanjakan Emen yang fenomenal

Mitosnya, dinamakan tanjakan Emen karena pada jaman perjuangan dahulu, ada pria paruh baya bernama Pak Emen yang menjadi korban tabrak lari. Ironisnya lagi mayat Pak Emen tidak dikubur, melainkan dibuang dibalik pepohonan yang ada di situ. Sampai sekarang, berbagai kecelakaan yang terjadi di sekitar tanjakan Emen dianggap sebagai balas dendam arwah Pak Emen.
Ah, tapi saya tidak memikirkan itu. Yang saya rasakan adalah saya tengah berada di tengah-tengah tanjakan eksotis yang begitu panjang, berkelok, dan curam.

Saya mengayuh pelan di depan. Sedangkan Adit sudah tidak terlihat lagi. Di belakang, Bimar masih menemani Lita dan Rifai yang terus berjuang. Di tengah-tengah tanjakan, beberapa pengendara motor yang juga ‘ngeden’ di tengah beratnya medan melihat heran ke arah kami. Sebagian dari mereka tersenyum, bahkan ada juga yang mengacungkan jempol.

Sisi kiri kanan tanjakan Emen sebagian besar adalah tebing bebatuan dan kebun teh yang bertumpu pada tanah yang cukup tinggi. Saat sepi tanpa lalu lalang kendaraan, suasana memang terasa begitu khusyu. Hanya terdengar suara angin kencang dan suara tarikan nafas kami yang tersengal. Karena curamnya, arah keatas dibuat menjadi dua jalur lebar, sedangkan arah ke bawah hanya disisakan satu jalur. Hal itu untuk menghindari keadaan berbahaya bila ada kendaraan berat yang tidak kuat melaju di tanjakan.

Belum sampai ujung tanjakan, kami berempat memutuskan untuk beristirahat di sebuah warung. Rifai terlihat kelelahan, hingga akhirnya memutuskan untuk tidur sebentar. Saat itu, 3 orang dengan sepeda balap melintas begitu gagah melahap tanjakan melewati kami. Luar biasa, pikir saya saat melihat satu persatu dari mereka sampai di ujung tanjakan Emen yang berada beberapa puluh meter di depan saya. Saya pun menyempatkan berbincang dengan penjaga warung untuk sekedar memastikan berapa jauh lagi menuju gerbang Tangkuban Perahu? “Sudah dekat.” jawab si penjaga warung.

Rifai berjuang di Tanjakan Emen

Tak lama kemudian kami segera melanjutkan sisa perjalanan yang mungkin hanya berjarak sekitar 2km saja. Pelan, pelan, hingga akhirnya gapura sebagai penanda tujuan akhir perjalanan sudah terlihat. Dan akhirnya, kami pun sampai dengan disambut hujan yang cukup deras. Puji Tuhan. Saat itu sekitar jam 12 siang. Bayangkan, berarti hampir 6 jam kami mengayuh di jalur menanjak yang hanya berjarak 17km.

Kami beristirahat di sebuah warung di tengah ramainya para pengunjung Tangkuban Perahu. Di situ kami melepas rasa lelah, dan berbincang tentang perjalanan panjang yang baru saja kami lalui. Rencana awal untuk ‘naik’ ke kawah Tangkuban Perahu kami batalkan karena keterbatasan waktu yang sudah semakin habis. Maka setelah makan dan kenyang, 1 jam kemudian kami segera melanjutkan perjalanan ke arah Bandung untuk segera pulang dengan kereta Api jam 7 malam. Dan sekitar jam 11 malam, kami telah sampai kembali ke Jakarta, maka perjalanan pun usai.

Gapura terakhir, dari atas Gerbang Tangkubang Perahu

Sungguh perjalanan yang luar biasa, penuh makna, dan tentu saja perjuangan. Bagaimana Tuhan kembali menunjukan bahwa begitu banyak tempat yang begitu indah dan menantang untuk ditapaki dengan sepeda. Dan perjalanan menjadi lebih bermakna, karena dilalui bersama para sejawat yang tak kenal lelah dibalut rasa kebersamaan.

Sampai jumpa di perjalanan berikutnya..

12 Responses to Menjajal Elok Tanjakan Emen (Torehan Perjalanan Bersepeda Jakarta-Tangkuban Perahu)

  1. irawan says:

    very nice trip. ajak-ajak dong Om 🙂

  2. Geza says:

    …sedih gw bacanya………..sedih gak pernah bisa ikut nyobain touring 😦

  3. Evi says:

    kerennnnnnnnnnnnnnnnnn…..
    itu dengkul koq pd kuat sih gowes di tanjakan…hebat

  4. tetangga says:

    kenceng2 semua ya abis itu betisnya ya i,,,tp seru2 bgt sih i touringnya jd pengen ikut

  5. dhanichagi says:

    Tandjakan Emen memang mantab!
    Naik pick up aja udah ngeden:p *eh

  6. 4201journey says:

    Wow…. Keren oom brader… Ane juga biasa kemari nih, ane jg sepedahan tp juga peturing motor, 2hal hobi brat ane…
    Thumbs up…

  7. 4201journey says:

    Kalo mau turing sepedah lg ajak2 oom brader, janjian sebulan sebelumnya agar gampang ngambil cutinya….
    Ane tinggal d cileungsi dekat mekarsari.
    Info k sini ya…
    b4201h@gmail.com
    4201journey@ovi.com
    http://4201megaprolama.wordpress.com/

  8. mantab says:

    keren bgt, jadi mau nyoba juga touring rute ini. mas mau minta bantuannya dong, saya ga pernah nih ke bandung dengan rute ini, barangkali bisa bantu untuk detail-in rute nya lewat mana aja. kalau ada waktu bisa ke email saya di : aldy.gustinara@gmail.com
    thanks mas : )
    salam kenal, sehat selalu,

    Aldy.

  9. Jimy says:

    KEREN BANGET BANGET BANGET.. salut fisik bener2x kuat,,,

Leave a reply to northeist Cancel reply