Meretas Tiga Tapal Batas #1

Mungkin, kalau mau dibilang perjalanan ini terencana oleh karena sedikit rasa “iri”. Ada yang mengemban misi dengan melakukan gowes Jepara-Bandung, ada juga para sepuh yang touring Jakarta-Solo di hari yang sama. Makanya, saya ingin ikut meramaikan euforia touring saja, selain tentu saja untuk mencari sebuah catatan kehidupan baru dalam sebuah perjalanan baru, meski ke tempat yang sebagian besar telah saya sambangi sebelumnya.

Mengapa “Meretas Tiga Tapal Batas” ? Karena memang saya menuju dan melewati 3 perbatasan besar Kota/Kabupaten, yakni Perbatasan Bandung–Garut, Perbatasan Tasik–Garut, dan yang terakhir adalah Perbatasan Garut-Sumedang. Tentu tak inchi demi inchi wilayah di atas saya sambangi, melainkan sekedar menginjakan kaki dan memutar roda di wilayahnya untuk sekedar merekam, dan menikmati berbagai fenomena yang ada dari alat yang bernama panca indera, dan seperangkat teknologi murahan.

Hari pertama, Bandung-Kampung Naga

Sabtu pagi, 21 April 2012, perjalanan saya mulai dengan berangkat dari Lb.Bulus menggunakan Bus Primajasa Lb.Bulus-Tasikmalaya. Tujuannya adalah Gerbang Tol Cileunyi, baru dari sana nanti saya akan mulai mengayuh ke Kampung Naga. Malam sebelumnya memang sedikit mengalami dilema antara memlilih untuk full mengayuh dari Jakarta, atau start Bandung saja. Namun dengan berbagai perhitungan terutama masalah waktu, saya memilih yang kedua. Pertimbangan lainnya juga dalam perjalanan kali ini saya masih belum menggunakan rak pannier di sepeda. Memang tidak berat, namun sepanjang touring tetap saja saya akan  menggendol backpack berisi sleeping bag dan beberapa pakaian ganti yang membebani.

Singkat kata, sekitar jam 9.00 saya tiba di gerbang tol Cileunyi. Sarapan sebentar, saya pun segera mengayuh ke arah Garut. Jarak tempuh ke Kampung Naga adalah sekitar 75km. Untuk jarak memang relatif pendek, namun kontur jalan bervariasi naik turun, terutama memasuki wilayah Kota Garut nanti. Cuaca saat itu sudah cukup panas. Maklum, sepanjang jalan Rancaekek Cicalengka adalah kawasan industri tekstil yang begitu terbuka wilayahnya dan merupakan jalur lebar dua arah dengan volume kendaraan yang sangat ramai.

Gapura Perbatasan Kabupaten bandung

Selepas bundaran Cicalengka jalur mulai menanjak. Selain cuaca yang terik, hembusan angin sudah terasa menahan laju kayuhan. Bus antar propinsi dengan berbagai model melaju kencang di sisi kanan layaknya lesatan peluru. Di Rancaekek tadi, laju mereka memang sedikit tersendat di tengah keramaian, makanya ketika memasuki jalur ini seakan menjadi pelampiasan sang sopir untuk memacu kendaraan bak kesetanan. Sesekali hempasan angin dari bus itu sedikit membuat handling saya bergetar. Maka saat merasakan, mengambil posisi se-pinggir mungkin akan jauh lebih baik.

Saat mendekati perbatasan saya melewati rombongan penyepeda yang sepertinya tengah menunggu rekan-rekannya. Saya tersenyum ke arah mereka, dan seseorang memanggil nama saya. Saya tidak berhenti melainkan hanya melambaikan tangan.  Mungkin mereka mengira saya adalah rekan mereka yang tercecer di belakang. Tapi belakangan saya tau bahwa ternyata yang memanggil adalah Kang Tjahja Gunawan dari Kompas Gramedia Cycling Club, yang saat itu hendak nanjak ke Gn Kareumbi.

Jalur mendatar selepas gapura perbatasan. Saat memasuki wilayah Nagreg, baru berubah menjadi turunan curam dan panjang. Di arah berlawanan beberapa truk terlihat tersendat untuk menanjak.  Saya pribadi belum pernah melewati jalur ini dari arah berlawanan. Tahun lalu dari Garut, saya menggunakan jalur baru Lingkar Nagreg yang tanjakannya tidak securam ini, tapi panasnya berkali-kali lipat.

Jalan Cagak Nagreg

Jalur Nagreg menuju Kadungora

Sampai Jalan Cagak saya belok kanan ke arah Garut. Jalur ini asik. Jalan rolling naik turun dan berkelok yang tidak terlalu lebar tampak begitu eksotis dengan balutan dinding berbatu dan pepohonan di kedua sisi jalan. Warung makan sederhana berjejer dengan bale bambunya yang menggoda untuk ditiduri di tengah suasana adem rindang pepohonan.

Di Kadungora keadaan berubah 180 derajat. Kedua sisi jalan adalah rentetan kios dan ruko ramai pengunjung. Lalu lalang angkot, delman, hingga penyeberang jalan begitu asal-asalan. Di aspal yang panas berjejer kotoran kuda yang masih “fresh from the oven”, itu juga yang harus dihindari agar tak sampai “nyangkut” di roda sepeda. Di sini saya sempatkan untuk menyambangi beberapa toko dan bengkel sepeda kecil untuk membeli bidon. Tapi ternyata nihil, maka bidon yang tertinggal di rumah untuk sementara tetap saya ganti dengan sebotol pocari 600ml di bottle cage sepeda.

Suasana jalan utama Kadungora

Sudah hampir jam 12 siang. Saya memasuki Kecamatan Leles. Kondisi sama persis dengan Kadungora. Selain sebagai jalur utama menuju Garut, jalur ini merupakan akses ke lokasi wisata Candi Cangkuang, yang saat akhir pekan menjadi sasaran wisata para wisatawan lokal maupun dari luar Garut. Tahun lalu saya berhenti di daerah ini untuk makan siang. Namun kali ini, walau perut sudah cukup lapar, saya memutuskan untuk makan siang di Kota Garut saja meski tak lama lagi tanjakan telah menanti.

Tanjakan perbukitan Leles tak begitu panjang, mungkin hanya sekitar 4-5km. Tapi jalurnya sempit, hanya cukup untuk 1 jejer kendaraan di setiap arahnya. Sesekali saya harus menyingkir tatkala klakson bus-bus besar di belakang mulai terdengar tak sabar. Saya tak mau egois. Peraturan untuk mendahulukan  pejalan kaki dan penyepeda tak berlaku disini. Saya lah yang tetap harus mengalah, daripada bau kopling yang menyengat harus dihirup para penumpang bus?

Sisi kanan jalan adalah jurang dengan view rentetan bangunan jauh di bawah sana yang sepertinya adalah pabrik-pabrik dan lahan pertanian. Meski telah dipagar besi, konon dari arah berlawanan masih rawan kecelakaan. Beberapa tahun lalu saya sempat memarkir motor untuk menikmati pemandangan lembah tersebut. Tak lama, seorang petani yang kebetulan lewat memperingatkan untuk tidak berada di situ karena sering terjadi kecelakaan kendaraan yang lepas kendali dan terlempar ke dalam jurang.

Mengandalkan sisa air.

Beberapa kilometer ke depan sama sekali tak ada warung. Dan bodohnya, saya pun lupa me-refill minuman. Maka tak ayal saya “menghabiskan” tanjakan di tengah panas menyengat hanya dengan bermodal kurang dari setengah botol air kemasan Pocari 600ml. Tapi tak ada kendala berarti, perlahan-lahan saya pun melewati tanjakan untuk selanjutnya memasuki jalur panjang menurun untuk tiba di Kota Garut.

Lelaki tua itu berjalan bertumpu pada kedua tongkatnya. Badannya membungkuk seperti orang ruku’. Di atas punggung, seorang anak laki-laki kecil terikat sehelai kain coklat. Langkahnya amat lambat, tak lebih dari kecepatan kura-kura yang sedang sakit. Saya masih ingat mereka! Ya, saya pernah melihatnya beberapa tahun lalu saat mereka tengah duduk di pinggiran tugu untuk berharap belas kasih orang yang lewat. Betapa Tuhan mengingatkan saat itu bahwa untuk beberapa mahluknya, perputaran waktu tak menjamin perubahan nasib yang berarti. Tapi mungkin Tuhan punya rencana lain, termasuk untuk mengingatkan siapapun tentang arti perjuangan hidup yang ditunjukan melalui si bapak tua tadi.

Lelaki tua dan anaknya yang tengah berjuang menuju tugu

Baik pak, selamat berjuang menuju tugu yang tinggal beberapa belas meter di depan, dan saya juga tengah (berlagak) berjuang dengan sepeda, ke tempat tujuan yang tinggal beberapa puluh, bahkan ratusan kilometer jaraknya hingga esok hari,” pikir saya sambil menyelipkan selembar kertas nilai tukar yang mudah-mudahan berarti bagi mereka.

Saya berhenti di sebuah rumah makan Padang yang berada di Jalan Otista. Sudah pukul 13.00, bukan waktu yang telat untuk makan siang. Tapi hanya setengah jam saya berada di situ. Alasannya, dari perbincangan dengan si Uda pemilik rumah makan, Kota Garut selalu dirundung hujan menjelang sore hari. Cek handphone, Ibu pemilik rumah di wilayah Kampung Naga tempat saya menginap tahun lalu juga telah menanyakan keberadaan saya yang sudah janji untuk kembali bermalam di rumahnya.

Saya kembali mengayuh. Selepas itu adalah tanjakan menuju Kecamatan Cilawu. Elevasi memang tidak begitu curam, namun jalan yang lurus ke depan membuat tanjakan seakan-akan terlihat tak berujung. Cuaca masih mentereng, keringat mengucur makin deras. Tak ada sedikitpun tanda-tanda akan turun hujan seperti kata si Uda tadi. Dan, disinilah saya mengalami masalah.

Batas masuk Kecamatan Cilawu

Kabel shifter belakang saya putus! Seumur-umur tak pernah saya alami masalah seperti ini. Kejadian ini mengajarkan bahwa pengecekan seluruh elemen sepeda sebelum touring mutlak harus dilakukan dengan sangat teliti. Bagaimana tidak, saat itu sudah sekitar 3km saya melahap tanjakan, dan hanya sekitar 2-3km lagi, bagian terberat tanjakan akan terlewati.

Keputusan pun harus dibuat. Tak ada kabel cadangan, dan jujur saja, kalaupun bawa, saya tak punya pengalaman untuk mengganti kabel shifter sendiri. Kembali turun, atau melanjutkan perjalanan dengan menyetop angkot? Tapi di wilayah Kampung Naga jelas tak ada bengkel. Kalaupun saya lanjut, tetap tak ada yang bisa dilakukan dengan sepeda saya di sana. Maka saya putuskan untuk kembali turun ke arah kota sambil berharap tak begitu banyak waktu terbuang agar saya bisa sampai sebelum gelap.

Lepin Bike, dan Kang Heri sang mekanik

Di bawah ada sebuah bengkel kecil dengan mekanik seorang kakek yang pendengarannya agak terganggu. Sebenarnya saya agak ragu, tapi tak ada salahnya untuk dicoba. Beberapa saat, si kakek cukup kesulitan saat mencoba mengutak-atik shifter. Dan situ saya putuskan untuk mencari bengkel lain saja. Bertanya ke beberapa penarik becak, saya di arahkan ke Jalan Karacak. Di sana terdapat bengkel dan toko yang memang spesialis untuk MTB dan sejenisnya. Nama tokonya Lepin Bike. Heri, sang mekanik begitu ramah melayani saya saat bercerita tentang perjalanan hari itu dan rencana esok hari. Bahkan ia sempat untuk mengajak saya bermain XC suatu saat nanti. Pasti, suatu saat saya akan datang memenuhi ajakannya.

Selesai diperbaiki dan menyempatkan beli bidon, saya kembali melanjutkan perjalanan. Sedikit gemas rasanya saat saya harus memulai menapak tanjakan dari awal. Namun tak ada pilihan selain tetap memutar pedal. Shifting telah kembali normal, bahkan lebih enak dari sebelumnya. Dan ketika waktu sudah menunjukan pukul 4 sore, akhirnya saya berhasil menggapai puncak.

Puncak tanjakan di Kecamatan Cilawu ini ditandai keberadaan sebuah pohon besar dengan beberapa warung tenda tepat di bawahnya. Di sisi kiri, terdapat tanah kosong berbatu yang agak menjorok jauh dari aspal. Di ujung sisi tersebut dibatasi oleh beberapa patok beton hitam putih. Dan di bawah sana, terhampar sebuah “permadani hijau” berupa ladang padi yang subur. Sebuah saung berdiri di tepi sungai kecil yang berkelok dan memotong daratan dengan sangat elok. Jauh di ujung, berdiri bayangan pegunungan yang berjejer kokoh, yang seakan memang sengaja hadir untuk menjaga keindahan alam di bawahnya.

Puncak Cilawu yang indah

Terasering dari atas Cilawu

Menyaksikan itu, semua lelah yang saya rasakan seakan terbayar lunas. Bahkan wajah ini tak dapat menahan kegembiraan dengan tersenyum sendiri sambil menatap luas. Namun sayangnya saya tak bisa berlama-lama. Waktu yang telah terbuang akibat trouble di sepeda membuat saya harus segera beranjak agar bisa sampai tujuan sebelum gelap.

Sisa sekitar 15km ke depan didominasi turunan. Hanya sesekali tanjakan-tanjakan pendek kembali ditemui. Di sini lebih nikmat lagi, meluncur deras menerpa angin pedesaan dan lembah pegunungan ibarat sebuah kebahagiaan yang sederhana namun tak terbayar dengan apapun. Dengungan suara dari gesekan roda Larsen TT 2.10 ke aspal begitu nyaring terdengar, teracik dengan suara aliran sungai deras di sisi kiri saya.

Surau-surau kecil telah menyenandungkan pengajian menyambut ritual senja. Di beberapa titik, bocah-bocah desa yang menunggu waktu dengan menenteng sarung dan Quran. Mereka duduk di kursi kayu pinggir jalan sembari melambaikan tangan ke saya.

Menerpa angin

Di sepanjang sisa jarak, mata ini disuguhi pemandangan sawah, sungai, lembah, hutan, dan tebing rimbun nan tinggi. Kelokan jalan juga begitu aduhai, bahkan beberapa belokan ada yang memutar hingga 180 derajat. Terus meluncur, hingga akhirnya beberapa saat sebelum Magrib sampailah saya di tempat tujuan.

Jalur menuju Kampung Naga dari Puncak Cilawu

Dari luar, rumah si Ibu yang terletak persis di depan gerbang masuk Kampung Naga tampak sepi. Pintu tertutup rapat. Namun samar-samar terlihat aktivitas penghuni yang sedang menonton televisi di dalam. Ketika mengetahui kedatangan saya, bukan main hangatnya sambutan mereka. Ibarat seorang anggota keluarga yang sudah tak lama pulang, mungkin seperti itu saya dianggap.

Usai dipersilahkan masuk saya pun beristirahat dan berbincang-bincang dengan mereka di ruang keluarga. Secangkir air putih hangat dan sepiring pisang goreng panas menjadi suguhan pembuka untuk saya. Meski sederhana, sajian itu terasa begitu istimewa.  Menyusul kemudian setelah saya mandi di mushala samping rumah (karena memang rumah itu tak ada kamar mandi), sepiring nasi goreng panas telah dipersiapkan untuk saya santap sambil bercakap-cakap.

Masjid tempat mandi dan rumah tempat saya bermalam

Dan akhirnya perjalanan hari itu ditutup di atas kasur empuk di tengah dinginnya udara Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Tempat yang sangat nyaman untuk memulihkan tenaga. Karena esok hari, perjalanan akan jauh lebih berat dari hari ini…

Bersambung…

7 Responses to Meretas Tiga Tapal Batas #1

  1. dhanichagi says:

    More pict please 😀
    Capek juga walau cuma baca doang. Jadi pengen ke Kampung Naga…
    *banyak keinginan*

  2. Oni-aunilla says:

    Mantab Bro….

  3. Abdu Shebubakar says:

    Perlahan blog lo isi turing semua bro 😀 manstappp

  4. viepermata says:

    kereeennn abisss

Leave a comment